Sumbawa, infoaktualnews.com – Ketua AMAN Daerah Sumbawa, Febriyan Anindita, menegaskan bahwa konflik masyarakat adat Cek Bocek (Suku Berco) dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) sudah melampaui soal tambang.
“Ini bukan sekadar urusan konsesi, ini soal penyangkalan identitas dan hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri,” ungkap Febriyan Anindita, SH., kepada awak media, Rabu (20/8).
Menurutnya, Ia penyangkalan itu terlihat nyata dalam peran Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Pernyataan resmi LATS bahwa tidak ada lagi hutan adat di Sumbawa, yang keluar hanya beberapa hari setelah pengaduan ke Dewan HAM PBB , disebutnya sebagai bukti keterlibatan langsung.
“Sikap itu reaktif dan justru memvalidasi laporan kami: perusahaan masih memakai pola lama, menggandeng elite lokal untuk menutup eksistensi komunitas adat,” tegasnya.
Febriyan menjelaskan, masyarakat adat Cek Bocek tidak tinggal diam ketika pintu politik formal ditutup oleh DPRD setelah adanya titah Sultan dan LATS. Pada tahun 2020, mereka mengesahkan Perdes Lawin No. 1 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury.
“Perdes Lawin adalah simbol self-determination. Negara menolak mengakui, tapi komunitas menetapkan sendiri identitas dan hak kolektifnya lewat mekanisme demokrasi desa. Itu bukti masyarakat adat tidak menyerah,” beber Febriyan.
Perdes itu mengatur wilayah adat, perlindungan hutan, hingga situs leluhur. “Dengan Perdes, masyarakat adat berdiri di atas hukum yang sah, meski negara dan lembaga adat lain menutup mata,” tambahnya.
Dalam pengaduannya ke PBB, AMAN menulis:
“Throughout the nearly four-decade history of the conflict, the corporation and the state have consistently failed to respect, let alone obtain, the Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) of the community. Consequently, the community has suffered the destruction of traditional livelihoods, environmental degradation, and a persistent pattern of intimidation, violence, and criminalization.”
Febriyan menilai kutipan itu masih relevan dengan situasi terkini. “Polanya tidak berubah. AMNT mewarisi cara-cara lama Newmont: tidak ada FPIC, tidak ada transparansi studi kelayakan, dan selalu ada upaya intimidasi halus maupun kasar. “Bedanya, kini mereka reaktif, menggunakan LATS untuk menegaskan penyangkalan adat,” ujarnya.
Pengaduan ke PBB juga mencatat peran LATS dan Sultan dalam menutup jalan pengakuan formal.
“2015–2016: Failure of the Political Path. The community, assisted by AMAN, submitted a draft Regional Regulation (Perda) for legal recognition. This process, which initially had support, was sabotaged by the company-backed Sultan of Sumbawa and the Tana Samawa Customary Institution (LATS). The Sultan issued a decree stating he was the only indigenous community in Sumbawa. Consequently, the regional parliament rejected the draft Perda, closing the political path for rights recognition.”
Bagi AMAN, kutipan ini adalah bukti sahih bahwa denial adat bukan sekadar opini, melainkan strategi sistematis. “Kalau jalur politik ditutup, jalur budaya dipakai untuk menafikan, lalu jalur hukum dibonsai, artinya ini pelanggaran sistemik. Perusahaan dan negara tidak sendiri—mereka dibantu oleh lembaga adat yang dikooptasi,” kata Febriyan.
Febriyan menekankan bahwa, konsekuensinya bukan hanya lokal. “Kalau AMNT tetap dengan pola lama, reputasi mereka di mata global akan runtuh. Investor yang berkomitmen pada ESG bisa menarik diri. Copper Mark bisa mencabut sertifikasi. Indonesia pun bisa tercatat sebagai negara yang gagal melindungi masyarakat adat,” ujarnya.
Bagi LATS, risikonya tidak kalah serius. “Dunia akan melihat mereka bukan sebagai penjaga marwah budaya, melainkan sebagai alat denial. Itu kerugian reputasi yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan politik sesaat,” tegasnya.
Untuk itu, Febriyan akrab disapa Advokat muda ini, menegaskan kembali dengan tajam bahwa,
“Masyarakat adat Cek Bocek sudah menempuh jalan damai: mereka membuat Perdes, menjaga hutan, menjalankan ritual leluhur. Kalau negara, perusahaan, dan lembaga adat tetap menutup mata, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi rakyat, dan siapa yang memilih menjadi bagian dari denial. Dan dunia sedang menyaksikan itu,” pungkasnya. (IA)