Sumbawa, infoaktualnews.com – Gonjang-ganjing terkait keberadaan masyarakat adat di tanah samawa, membuat sejumlah aktifis, akademisi mulai angkat bicara karena keberadaan di tengah kawasan Elang Dodo Rinti di wilayah Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa.
Menyikapi dinamika yang berkembang, terlebih munculnya komentar salah satu akademisi Universitas Samawa (Unsa) terkait pandangan tentang keberadaan masyarakat adat (Cek Bocek) di Sumbawa wilayah tersebut, bahwa masyarakat adat Cek Bocek Selesek Reen Sury baru muncul setelah adanya aktivitas pertambangan.
Menyikapi hal itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa Febriyan Anindita, SH., menilai klaim itu keliru dan berpotensi melemahkan perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas wilayah leluhur mereka.
“Pernyataan itu mengabaikan sejarah panjang, struktur sosial, serta praktik budaya yang sudah berlangsung turun-temurun di Cek Bocek. Ini bukan komunitas instan,” tegas Febriyan , Senin (29/9).
Dijelaskannya, konflik antara masyarakat adat Cek Bocek dengan perusahaan tambang di Sumbawa telah berlangsung sejak awal 2000-an. Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Cek Bocek Selesek Reen Sury telah terdaftar sebagai komunitas adat yang memiliki struktur kelembagaan, wilayah ulayat, dan ritual budaya yang terus dijalankan. bebernya.
Lanjutnya, upaya mempertanyakan keberadaan masyarakat adat bukan hal baru. Pada 2012, penelitian yang dilakukan Laboratorium Sosiologi Universitas Indonesia (Lab Sosio UI) dan dibiayai PT Newmont Nusa Tenggara sempat menuai polemik karena dinilai mempertanyakan eksistensi Cek Bocek. “Saat itu, hasil penelitian dipandang lemah secara metodologis dan justru memperkeruh konflik. Sekarang pola yang sama kembali muncul,” ujarnya.
AMAN Sumbawa juga mempertanyakan disiplin ilmu yang digunakan akademisi Unsa dalam menyampaikan klaim tersebut. Menurutnya, pendekatan antropologi atau sosiologi seharusnya menekankan keberlanjutan praktik adat, bukan meragukan eksistensinya.
“Untuk itu, Kalau dilihat dari sudut pandang akademik yang benar, masyarakat adat memiliki genealogis, ritual, dan ingatan kolektif yang kuat. Jadi, pernyataan itu patut dipertanyakan,” katanya.
Lebih jauh, advokat muda tersebut menilai narasi yang meragukan masyarakat adat merupakan bagian dari strategi manajemen konflik. “Biasanya dimulai dengan meragukan eksistensi, lalu masyarakat dipecah, kemudian ruang hidup mereka semakin dikuasai,” tegas Febriyan.
Ia menegaskan, masyarakat adat Cek Bocek akan terus bertahan.
“Mereka sudah ada jauh sebelum tambang berdiri, dan akan tetap ada setelah tambang pergi,” pungkasnya.
Sementara itu, Akademisi Unsa Muhammad Yamin menyebut klaim Cek Bocek tidak memiliki dasar historis yang kuat. Ia bahkan menuding keberadaan kelompok itu baru muncul setelah kawasan tambang di Dodo Rinti mulai dibuka.
“Memang Cek Bocek itu tiba-tiba muncul saat tambang di Dodo Rinti mulai dibuka. Secara historis, tidak pernah ada masyarakat adat bernama Cek Bocek,” tegas Yamin, Ahad (28/9).
Menurutnya, Cek Bocek membuat sejarah versi mereka sendiri. Padahal dalam catatan kerajaan dan sejarah migrasi masyarakat di Sumbawa, kelompok tersebut tidak pernah tercatat.
“Dari zaman kerajaan dulu, proposal yang mereka buat itu mengada-ada. Tidak semua masyarakat yang tinggal di Dodo Rinti merasa diri Cek Bocek,” ujarnya. (*)