Konflik Agraria Sistemik: Petani Mentingal Laporkan HGU PT SBS ke Pansus DPR RI dan Kementerian HAM 

Jakarta, infoaktualnews.com – Konflik agraria kembali mencuat di Nusa Tenggara Barat. Sejumlah petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Mentingal (KTHM) di Desa Plampang, Kabupaten Sumbawa, melaporkan dugaan perampasan lahan dan cacat hukum dalam penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 66/Plampang atas nama PT Sumbawa Bangkit Sejahtera (PT SBS) kepada Panitia Khusus (Pansus) Konflik Agraria DPR RI dan Kementerian Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM) RI di Jakarta.

Laporan itu diserahkan langsung oleh Jasardi Gunawan, pendamping hukum warga, pada Kamis (23/10/2025). Dalam laporan tersebut, petani menilai penerbitan HGU seluas lebih dari 226 hektar itu mencerminkan maladministrasi sistemik dalam tata kelola agraria di Indonesia.

“Kasus di Mentingal ini bukan sekadar sengketa lokal, tetapi potret dari krisis struktural dalam pengelolaan tanah. Negara gagal hadir melindungi penggarap kecil,” ujar Jasardi di Jakarta.

Para petani mengaku telah menggarap lahan di wilayah Mentingal sejak tahun 2012. Di atas tanah itu mereka menanam jagung, padi, dan tanaman pangan lain yang menjadi sumber penghidupan keluarga. Namun, pada pertengahan 2023, mereka mendapati lahan garapan tersebut telah diterbitkan sertifikat HGU atas nama PT SBS tanpa sepengetahuan mereka.

“Kami sudah tinggal dan menanam di tanah itu lebih dari sepuluh tahun. Tiba-tiba muncul sertifikat atas nama perusahaan, sementara kami tidak pernah diajak bicara,” kata Abdul Gani Dahlan, Ketua KTHM.

Dalam dokumen HGU, dasar legalitasnya merujuk pada Akta Pelepasan Hak Nomor 61 tanggal 28 Januari 2021, yang mencantumkan 116 nama warga sebagai pihak yang disebut telah menyerahkan tanah kepada PT SBS. Namun, para penggarap menyebut nama-nama tersebut bukan berasal dari kelompok mereka.

“Tidak ada satu pun dari kami yang menandatangani pelepasan tanah. Kami tidak tahu siapa 116 orang itu,” ujar Syarafuddin, salah satu petani penggarap.

Jasardi Gunawan menilai, praktik seperti ini merupakan bentuk rekayasa administratif yang berulang dalam konflik agraria.

“Ini bukan sekadar kesalahan prosedur, tapi bentuk penghilangan hak masyarakat lewat dokumen yang disusun tanpa partisipasi mereka,” kata Jasardi.

Dalam laporan yang sama, KTHM juga mempersoalkan dasar hukum penerbitan HGU, yaitu Keputusan Bupati Sumbawa Nomor 1571 Tahun 2013 tentang Izin Lokasi PT SBS. Izin tersebut berlaku hanya selama tiga tahun, tetapi proses pelepasan hak dan penerbitan HGU dilakukan pada 2021 hingga 2023 — bertahun-tahun setelah masa berlakunya habis.

“HGU dibangun di atas izin yang sudah mati. Ini bentuk kelalaian hukum yang tidak bisa dibenarkan,” ujar Jasardi.

Selain ke DPR RI, para petani juga menyerahkan laporan resmi ke Kementerian Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM) RI di Jakarta. Laporan diterima oleh Direktorat Jenderal Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang berwenang menangani dugaan pelanggaran hak asasi akibat kebijakan atau tindakan administratif negara.

“Kami melapor karena ini bukan hanya soal tanah, tapi soal hak hidup. Ketika tanah diambil, seluruh sumber kehidupan kami hilang,” kata Ali Sanapiah, anggota kelompok.

Menurut Jasardi, pelibatan Kementerian HAM penting karena konflik agraria seperti ini menunjukkan kegagalan negara menjamin hak atas tanah, pangan, dan pekerjaan yang layak — yang seluruhnya merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Kasus Mentingal dinilai mencerminkan pola umum dalam konflik agraria di Indonesia: penerbitan hak atas tanah tanpa verifikasi sosial, lemahnya pengawasan terhadap BPN dan pemerintah daerah, serta absennya perlindungan hukum bagi penggarap yang tidak memiliki bukti kepemilikan formal.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, hingga pertengahan 2025 terdapat lebih dari 500 konflik agraria aktif di seluruh Indonesia, dengan mayoritas melibatkan korporasi besar di sektor perkebunan dan kehutanan.

“Konflik agraria seperti ini akan terus berulang selama negara tidak melihat kondisi masyarakatnya,” ujar Jasardi.

Gugatan petani Mentingal di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram sebelumnya tidak diterima dengan alasan legal standing. Namun, mereka menegaskan perjuangan belum berhenti.

“Kami akan terus mencari keadilan, karena tanah ini adalah hidup kami,” kata Abdul Gani. (IA)

Mau punya Media Online sendiri?
Tapi gak tau cara buatnya?
Humm, tenang , ada Ar Media Kreatif , 
Jasa pembuatan website berita (media online)
Sejak tahun 2018, sudah ratusan Media Online 
yang dibuat tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia.
Info dan Konsultasi - Kontak 
@Website ini adalah klien Ar Media Kreatif disupport 
dan didukung penuh oleh Ar Media Kreatif

error: Upss, Janganlah dicopy bang ;-)