Mataram, infoaktualnews.com – Wantilan di Pura Wantilan Karang Siluman, Cakranegara, mendadak jadi sorotan publik. Bukan karena odalan atau hari suci, melainkan aktivitas tajen alias sabung ayam yang diduga digelar hampir setiap hari, dengan praktik taruhan yang mengarah ke perjudian.
I Gede Hardi Haryawan, S.H., tokoh masyarakat Hindu tak tinggal diam. Ia menegaskan bahwa Tabuh Rah bukanlah tontonan, apalagi ajang menambah pundi-pundi pribadi.
“Kalau dilakukan setiap hari, itu bukan ritual. Itu memperkaya diri sendiri. Bisnis!” ujarnya dengan nada tegas, namun tetap santai penuh penekanan makna, saat dikonfirmasi, Senin (1/12/2025) siang.
Menurut Hardi, Tabuh Rah sejatinya adalah bagian dari rangkaian Upacara Yadnya — ritual suci penaburan darah hewan korban sebagai simbol harmonisasi bhuta kala. Prosesnya ada aturan, ada pakem, dan ada batasan.
Ia meluruskan dengan rinci, Tabuh Rah dilakukan dengan melepas dua ekor ayam jantan bertaji alami untuk diadu tanpa taruhan. Begitu ayam berbenturan tiga kali (3 sehet/3 parahatan), ritual selesai. Titik. No drama. No betting.
“Benturan tiga kali, selesai. Tanpa taruhan. Tanpa judi. Kalau ada yang pasang uang, itu Tajen murni. Judi,” tegasnya.
Hardi juga menekankan bahwa wantilan pura boleh dipakai untuk kegiatan suci, seperti Bhuda Manis, Odalan, atau Buda Cemeng, yang waktunya sudah diatur adat. Bahkan Tabuh Rah pun hanya digelar sekali dalam 6 bulan atau pada momen tertentu sesuai kalender ritual, bukan tiap hari bagai jam operasional warung.
Dengan gaya khasnya yang menyentil, Hardi menambahkan, “Ini pura, bukan kantor buka tutup Senin sampai Minggu. Kalau tiap hari sabung ayam, namanya bukan sembahyang, tapi ring pertandingan.”
Hardi pun berharap pihak berwajib tak hanya memantau, tapi bertindak demi menjaga keharmonisan sosial dan marwah tempat suci.
“Saya minta kepada aparat yang berwenang menindak tegas penyalahgunaan Pura jadi ajang judi sabung ayam. Ritual suci ayo kita jaga bersama, yang judi stop, jangan di wantilan pura,” tutupnya.
Gelombang penolakan tak hanya dari Hardi. Warga Hindu Karang Siluman juga bersuara. Di lokasi berbeda, seorang warga menyampaikan keberatannya mewakili keresahan umat setempat.
“Tabuh Rah itu 6 bulan sekali, bukan event harian. Saya sebagai umat Hindu jelas tidak setuju. Kami resah, ini memalukan. Jangan sampai semeton Sasak dengar, nanti kami yang malu,” ungkapnya.
Beberapa warga lain turut menilai aktivitas tersebut meresahkan, menodai kesucian pura, dan berpotensi memicu stigma negatif antar komunitas.
Tak ada sentimen antar budaya, yang ada adalah satu suara: pura harus steril dari praktik judi, dan Tabuh Rah harus kembali pada esensi ritualnya. (*)












