SUMBAWA, infoaktualnews.com – Demokrasi kita sedang menghadapi paradoks. Di satu sisi, parlemen—baik DPR RI maupun DPRD provinsi dan kabupaten—mengklaim diri sebagai representasi rakyat. Namun di sisi lain, kualitas legislasi yang dihasilkan justru menunjukkan defisit literasi politik. Anggota dewan lebih banyak tampil di media sosial, menghadiri seremoni, dan mengumbar citra, ketimbang membangun gagasan dan memperkaya ruang literasi publik.
Sebagai warga yang percaya bahwa demokrasi tidak cukup diukur dari jumlah kursi, tetapi juga dari kualitas gagasan, saya memandang fenomena ini sebagai krisis etis sekaligus krisis intelektual.
Krisis Literasi di Senayan
Kita menyaksikan bagaimana DPR RI terburu-buru mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja—UU ribuan halaman yang bahkan oleh sebagian legislator diakui tidak mereka baca secara utuh. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU itu inkonstitusional bersyarat.
Fakta ini menyingkap sebuah ironi: lembaga yang diberi mandat konstitusi untuk melahirkan hukum justru kerap melahirkan produk yang cacat, bukan karena kurang tenaga, tetapi karena minimnya tradisi membaca dan refleksi.
Tahun 2024, Mahkamah Konstitusi memutus 158 perkara pengujian undang-undang, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Ini alarm keras: parlemen gagal menjalankan fungsi dasar legislasi yang berkualitas.
DPRD: Meniru Keburukan Senayan
Fenomena serupa menular ke daerah. DPRD provinsi maupun kabupaten kerap menjadi stempel Pemerintah Daerah. Banyak Perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan aturan lebih tinggi, tidak konsisten, bahkan menghambat pelayanan publik. Mantan Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan lebih dari 3.000 Perda dibatalkan karena bermasalah, sementara ribuan lainnya masih dalam kajian.
Saya melihat DPRD di banyak kabupaten sibuk dengan pencitraan: memasang baliho, membuat agenda seremonial, atau sekadar tampil sebagai “wakil rakyat” di acara resmi. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukan wajah tersenyum di baliho, melainkan regulasi yang melindungi kepentingan mereka.
Politik Literasi: Jalan Sunyi yang Terlupakan
Mengapa literasi penting bagi legislator? Karena membaca dan menulis menuntut kerendahan hati untuk memahami kompleksitas realitas, dan keberanian untuk merumuskan solusi dengan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan.
Politisi yang tidak membaca hanya akan jadi corong birokrasi. Politisi yang tidak menulis hanya akan jadi pengulang jargon. Literasi adalah syarat etis untuk menjadi wakil rakyat.
Dalam konteks ini, saya ingin menyinggung figur Nurdin Ranggabarani—mantan pimpinan DPRD Sumbawa dan DPRD NTB—yang memberi teladan berbeda. Ia memang bukan lagi legislator aktif, tapi justru dalam “kesunyiannya”, ia meninggalkan pelajaran: bahwa politik bukan sekadar kursi, melainkan tanggung jawab gagasan.
Jika generasi politisi hari ini berani menempuh jalan sunyi literasi, mungkin demokrasi kita tak akan sekadar riuh di layar kaca, melainkan kokoh di ruang gagasan. Beberapa karyanya, seperti Manambai Sang Inspirator & Motivator, Senandika, dan Dari Sumbawa Menggapai Puncak Eiffel, Nurdin menunjukkan bahwa politik bisa diwujudkan dalam gagasan yang hidup, bukan sekadar citra yang cepat usang.
Dari Senayan hingga kabupaten, parlemen kita lebih sibuk membangun citra ketimbang gagasan. Namun, figur seperti Nurdin Ranggabarani menunjukkan bahwa jalan lain itu ada: jalan literasi, jalan sunyi, yang menempatkan politik sebagai ruang gagasan dan nurani.
Pertanyaan pentingnya: beranikah parlemen hari ini keluar dari jebakan pencitraan, dan kembali ke tradisi membaca, menulis, dan berpikir? Atau kita akan terus terjebak dalam demokrasi yang riuh secara visual, tapi kosong secara intelektual?
Tanggung Jawab Moral Legislator
Seorang legislator sejatinya bukan hanya “wakil formal” rakyat, melainkan juga “wakil moral.” Ia mewakili harapan bahwa politik bisa dijalankan dengan integritas, dengan nurani, dengan tanggung jawab intelektual.
Namun, bagaimana mungkin tanggung jawab moral itu dijalankan jika anggota dewan tidak membaca, tidak menulis, tidak berpikir secara reflektif? Politik tanpa literasi hanyalah pasar citra—ramai di permukaan, kosong di kedalaman.
Fenomena Politik yang memanas karena ulah segelintir anggota DPR RI seharusnya menjadi alarm keras bagi demokrasi kita. Parlemen hanya bisa diselamatkan jika kembali ke dasar: etika, integritas, dan kesadaran sebagai pelayan publik.
Penutup: Membaca, Menulis, Melayani
Saya percaya, demokrasi yang sehat hanya bisa dibangun di atas fondasi literasi. Legislator yang gemar membaca dan menulis akan lebih peka terhadap persoalan rakyat, lebih hati-hati dalam membuat kebijakan, dan lebih siap mempertanggungjawabkan keputusan politiknya.
Dari Senayan hingga kabupaten, sudah saatnya kita mendesakkan tuntutan sederhana tetapi mendasar: wakil rakyat haruslah wakil literasi. Jika tidak, demokrasi kita akan terus dipenuhi wajah-wajah di baliho, tetapi kehilangan jiwa di ruang gagasan. (IA)