SUMBAWA, infoaktualnews.com – Konflik agraria di Tanah Samawa antara pihak perusahaan PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) dengan Masyarakat.
Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa, Febriyan Anindita, menegaskan bahwa, konflik terus berlanjut.
Menurutnya, pada sektor perkebunan dan agribisnis dari data Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat 108 letusan kasus pada tahun 2023. Letusan konflik agraria yang kerap kali dibarengi oleh aksi refresif aparat keamanan menjadi bukti kongkrit bagaimana pola-pola penanganan pemerintah di wilayah konflik agraria. Khsusunya, Konflik agraria di blok Mentingal, bukan saja masalah lahan plasma masyarakat yang tak kunjung di penuhi oleh perusahaan perkebunanan (PT. SBS), lebih jauh lagi, mencerminkan perampasan tanah rakyat yang sebagian merupakan wilayah adat. ungkap Feb akrab disapa advokat muda ini.
“Dalam kasus Mentingal, dimulai dari munculnya klaim-klaim tanah secara sepihak tanpa persetujuan oleh perusahaan PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) di atas tanah masyarakat. Perusahaan memasuki tanah atau kebun rakyat borang mentingal yang sebagian merupakan wilayah adat Rebu Payung dan telah di lindungi oleh PERDES No. 1 . Desa Sepayung tentang Pengakuan dan Perlindungan masyarakat adat Rebu Payung Tahun 2020, dengan dalih mengantongi hak guna usaha (HGU),“ terang Feb.
Selain itu, PT. SBS terus menggencarkan perluasan dengan target luas lokasi sesuai dengan izin nomor 1571 Tahun 2013, seluas 1.245,42 ha untuk kegiatan perkebunan penanaman Sisal. Sebab sebut dia, terus menerus melakukan perluasan tersebut, warga adat merasa sangat keberatan. Sehingga terjadilah konflik horizontal antara petani plasma dengan masyarakat adat di lapangan.
“Mereka rela mati untuk membela tanahnya, tanah nenek moyang mereka,” tegasnya.
Febriyan juga sangat menyayangkan Kapolres Sumbawa yang memberi pernyataan bahwa masyarakatlah yang melakukan klaim atas tanah PT. SBS dengan alasan memiliki HGU, HGU yang lahir tanpa pelibatan warga. Masih kata dia, kedatangan Kapolres Sumbawa bukan mengobati luka warga, malah warga mengindikasikan keberpihakan alat negara itu kepada korporasi Melalui penetapan tersangka warga adat dengan delik penyerobotan lahan menggunakan pasal dalam Perpu 51 Tahun 1960.
Lanjut feb, seperti diketahui, sepanjang tahun 2023, aparat kepolisian merupakan pihak yang paling banyak terlibat pada kasus kekerasan di wilayah konflik agraria. Dari data yang dikumpulkan KPA, Polisi terlibat sebanyak 85 kali melakukan tindakan kekerasan kepada warga di wilayah konflik. Pihak keamanan perusahaan sebanyak 47 kasus. Sementara TNI terlibat sebanyak 19 kali dalam kasus kekerasan di wilayah konflik agraria dan Satpol PP sebanyak 18 kasus kekerasan. paparnya.
“Kalau sikap-sikap aparat keamanan terus seperti itu, maka hastag #PercumaLaporPolisi akan mencuat lagi,” cetus Febriyan.
Hal senada juga diungkapkan, Jasardi Gunawan, HGU cacat Hukum sebab tidak adanya pelibatan masyarakat dalam penerbitan HGU, dapat menjadikan HGU tersebut batal secara hukum.
“Ini terdapat kesalahan fatal yang dilakukan BPN dalam mengeluarkan HGU PT. SBS, karena dalam aturannya syarat untuk dibebankan HGU kepada pemohon, yaitu tanah yang diminta harus dibebaskan sebelumnya. Apalagi itu tanah garapan dan tanah kelola,” ungkap Jasahardi.
Diketahui, banyaknya penerbitan HGU yang dilakukan oleh pemerintah membuat petani kita terhimpit. Ruang hidup masyarakat adat semakin terancam. kata dia.
Jika melihat data KPA , menunjukkan tingginya angka kemiskinan dan sebaran petani gurem beriringan dengan tingginya pembangunan yang lapar tanah, dan Provinsi NTB masuk dalam 8 besar terkait dengan pola pembangunan lapar tanah. tandasnya (IA)